Lompat ke konten

Restorasi, upaya rehabilitasi terumbu karang di Gili Matra

Tim restorasi dengan fish dome di atas dermaga apung.

Restorasi, upaya rehabilitasi terumbu karang di Gili Matra
Tanyakanlah para penyelam scuba yang mengunjungi Gili Matra, apa yang membuat mereka tertarik ke pulau tersebut? Jawaban mereka bisa berkisar dari airnya yang sebening kristal hingga fauna lautnya yang melimpah. Di antara semua jawaban ini, ada suatu benang merah: ekosistem terumbu karang yang kompleks tak hanya menopang kehidupan laut di bawah air, tetapi juga kehidupan masyarakat di pulau-pulau tersebut.
Saat ini, bahkan lebih dari sebelumnya, terumbu karang di kepulauan Tiga Gili sedang tertekan akibat faktor perubahan iklim dan ancaman antropogenik. Citra satelit menunjukkan bahwa 55 dari 128 ha area terumbu karang di TWP

Gili Matra mengalami degradasi – sekitar 43% dari total luasnya.
Berbeda dengan yang sekarang, banyak masyarakat setempat masih mengingat kondisi terumbu karang yang lebih sehat pada masa lampau. “Kalau kita lihat dari ceritanya, ini malah dari orang tua dulu, story-nya terumbu karang di Gili Indah ini sangat banyak dulunya,” kata Masrun, warga Gili Meno yang ditunjuk sebagai ketua kelompok restorasi terumbu karang. “Namun sumber daya manusianya masih kurang, sehingga dulu masih adanya pengeboman dan lain-lain dari populasi terumbu karang itu yang pertama.”
Ketika terjadi pembatasan aktivitas di dunia selama puncak pandemi COVID-19, penduduk lokal dari desa Gili Indah di Gili Matra malah berinisiatif untuk memanfaatkan waktu mereka untuk melindungi dan memulihkan perairan mereka. Mulai tahun 2020, penduduk Gili Indah membentuk macam-macam kelompok masyarakat dan memulai kegiatan terkait restorasi karang selama tiga tahun ke depan.
Sementara kelompok masyarakat ini mandiri dan diciptakan dari kepentingan pribadi mereka, keseluruhan proyek restorasi adalah bagian dari kegiatan COREMAP-CTI (Coral Reef Rehabilitation Management Program), didukung oleh Bappenas ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund) dan Kementerian Kelautan & Perikanan. Program ini didanai oleh Grant Package 5 ADB (Bank Pembangunan Asia). Hibah tersebut digunakan untuk melatih masyarakat dan menyediakan peralatan dan fasilitas yang akan digunakan untuk pengelolaan dan pemulihan ekosistem perairan TWP Gili Matra.
Ancaman terhadap terumbu karang
Untuk memastikan keberhasilan proyek restorasi, sangatlah krusial untuk mengidentifikasi dan mencegah adanya ancaman terhadap terumbu karang. Jika tidak, karang baru yang sehat akan mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya, dan upaya restorasi malah menjadi sia-sia.
Faktor lingkungan – termasuk fenomena cuaca alami seperti El Niño dan La Niña serta perubahan iklim antropogenik – berperan besar dalam kelangsungan hidup karang Gili Matra. Meski faktor-faktor ini jauh lebih sulit dikendalikan, dampak langsung dari aktivitas manusia yang mengancam terumbu karang masih dapat dicegah.
Inilah tugas POKMASWAS Gili Matra, atau kelompok pengawas masyarakat yang bertugas memantau pelanggaran-pelanggaran berbahaya di Gili Matra. Kelompok ini secara rutin berpatroli di atas dan di bawah air sambil menggunakan perahu dan kamera bawah air. Di
luar patroli rutin, POKMASWAS Gili Matra juga bersigap jaga-jaga adanya laporan pelanggaran, dan tentunya akan langsung bergegas ke lokasi setelah mendapatkannya.

Hasanudin Shanu (kanan) di atas kapal POKMASWAS bersiap-siap untuk melaksanakan patroli rutin.

Hasanudin Shanu (kanan) di atas kapal POKMASWAS bersiap-siap untuk melaksanakan patroli rutin.

“Di sini ada rasa kepedulian kami untuk melindungi dari pada aset-aset yang dimiliki pada saat ini, karena di sini kami tidak ada tambang emas, intan, berlian, permata, yang kami punya hanya terumbu karang. Jadi kalau tidak ada pengawasan, tidak ada penjagaan, begitu itu habis kita juga akan menderita ke depannya,” jelas Hasanudin Shanu, Ketua Kelompok Pengawas Masyarakat (POKMASWAS) Gili Matra.
Meski pengeboman telah berhenti sejak kawasan tersebut diubah untuk penggunaan pariwisata, masih ada metode penangkapan ikan yang merusak yang marak digunakan di Tiga Gili, yaitu penangkapan ikan dengan kompresor. Dan ironisnya, perkembangan dan kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata juga menyebabkan tekanan pada terumbu karang sambil mengandalkan terumbu karang ini sebagai daya tarik utamanya. Misalnya, polusi dari sunscreen yang tidak aman bagi terumbu karang dan tinggi volume transportasi yang lalu-lalang dari pulau-pulau tersebut. Ada pun juga ancaman langsung yang lebih merusak yaitu yang berasal dari ketidaktahuan publik.
“Di sini adalah kawasan pariwisata yang berskala internasional, jadi disini ada pengusaha-pengusaha jasa wisata yang bisa saja melanggar aturan yang berpotensi memberikan satu ancaman,” tutur Shanu. “Kebanyakan dari para pengusaha ini tidak melakukan tambat labuh di zona pelabuhan, jadi mereka melempar tambat labuh di zona-zona pariwisata, kadang membuang jangkar sembarangan”
“Tantangannya adalah edukasi masyarakat, bagaimana cara memberikan mereka pemahaman terkait pentingnya ekosistem, bagaimana cara menjaga,” tambahnya.
Restorasi
Pada Juli 2021, terbentuklah kelompok restorasi terumbu karang Gili Matra yang beranggotakan 22 orang. “Pas keadaan COVID [restorasi] sangat-sangat diminati [oleh masyarakat]. Lapangan kerja tidak ada, semua pelatihan jalan, kata Masrun.
Kelompok lain juga telah dibentuk dan dilatih oleh perwakilan COREMAP-CTI, misalnya kelompok nelayan dan kelompok sadar wisata (POKDARWIS).
Proses rehabilitasi dan restorasi dimulai dengan pelatihan dan survei lokasi untuk memilih dengan tepat lokasi yang benar-benar membutuhkan aksi intervensi dengan restorasi. Intinya, melakukan survei untuk mencari daerah dengan terumbu karang rusak yang juga paling layak untuk direstorasi dengan mempertimbangkan faktor lain. 11 lokasi telah dipilih, dengan luas total 27.000 m2.
“Jadi di sini ada dua metode yang kami lakukan untuk program COREMAP GP5, yaitu di bagian rehabilitasi karang. Ada restorasi yaitu menggunakan metode ‘MARRS’, MARRS adalah Mars Assisted Reef Restoration System dengan menggunakan reef star, kemudian di sini kami buat rumah ikan atau ‘fish dome’,” jelasnya. Masrun, bersama kelompok masyarakat telah membuat 1000 unit reef star dan 1500 unit fish dome yang kemudian diturunkan pada bulan November 2022.

Seorang warga Gili Indah yang sedang menyiapkan MARRS reef star untuk direstorasi.

Seorang warga Gili Indah yang sedang menyiapkan MARRS reef star untuk direstorasi.

 

Tim restorasi dengan fish dome di atas dermaga apung.

Tim restorasi dengan fish dome di atas dermaga apung.

Menurut makalah yang ia terbitkan pada tahun 2022, hanya 16% dari proyek restorasi terumbu karang di Indonesia yang menyertakan framework pasca pemasangan. Pada saat yang sama, anggaran restorasi terumbu karang perlu menyediakan kegiatan pemantauan di masa mendatang untuk evaluasi jangka panjang keberhasilan restorasi untuk tahun-tahun setelah intervensi restorasi.
Jelasnya, “salah satu kunci sukses restorasi terumbu karang adalah maintenance dan monitoring. Semua tergantung masyarakat untuk melakukan monitoring, tetapi semua kegiatan ini membutuhkan dana, dan dana tersebut harus berasal dari pemerintah atau siapa pun yang memulainya. Mereka perlu dukungan untuk melakukan program mereka secara berkelanjutan.”
Walaupun kelompok masyarakat restorasi di Gili Matra berjalan mandiri, mereka memiliki rencana untuk mengembangkan pendanaan berkelanjutan melalui kerjasama dengan pemangku kepentingan seperti sektor swasta (misalnya, operator wisata) dan Balai Kawasan Konservasi Laut Nasional (BKKPN) Kupang untuk dapat mendukung kegiatan monitoring serta pekerjaan yang mereka lakukan.