Ada fenomena yang tak terbantahkan terhadap lautan selama ribuan tahun, dimana umat manusia sangat tertarik pada lautan. Bisa jadi hal ini berasal dari dorongan utama manusia untuk kembali ke tempat asal bentuk kehidupan di Bumi, dan ketergantungan kita yang berkelanjutan. Manusia mengenali manfaat laut dalam bentuk sumber daya alam yang diandalkan untuk kelangsungan hidup seperti halnya oksigen, air, makanan, rekreasi, sumber pendapatan, dan media transportasi. Sementara, bagi anggota kelompok nelayan Gili Cinta Damai, memancing telah menjadi gaya hidup mereka sejak kecil – bukan hanya bagi mereka, tetapi secara turun-temurun, nenek moyang mereka telah menangkap ikan sejak zaman mereka pertama menetap di kepulauan tersebut. Sesungguhnya kepulauan Gili sebelumnya tidak berpenghuni; para pendatang yang beretnis Bugis, Sasak, Bali, Jawa, dan Madura datang ke pulau-pulau itu melalui jalur laut dan menetap sambil menikmati manfaatnya. Seiring waktu, potensi pulau-pulau tersebut bergeser dari dominan perikanan menjadi dominan pariwisata, lalu menjadi kawasan konservasi yang disebut TWP Gili Matra (taman wisata perairan Gili Matra). Bahkan, jumlah nelayan berkurang drastis.

Para nelayan Gili Indah saat memancing dengan menggunakan perahu tradisional
“Kami akui bahwasanya dari nelayan, barangkali yang pada saat sekarang ini masih sekitar berapa persen saja, tinggal 30% nelayan yang ada di desa Gili Indah dibanding waktu saya kecil,” kata Haji Budiman, ketua Gili Cinta Damai.
Bagi yang menetap, mereka menemukan bahwa mata pencaharian mereka terancam. Ikan seperti kakap dan ikan permukaan semakin berkurang akibat penangkapan ikan yang merusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab serta kondisi terumbu karang yang terancam. Budiman mengatakan kelompok nelayan Gili Cinta Damai dibentuk pada masa awal pandemi COVID-19 pada Februari 2020. Di kelompok nelayan Gili Cinta Damai I sendiri tercatat ada sebanyak 33 nelayan. Ini adalah bagian dari program kerja COREMAP-CTI (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), yang didukung oleh ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund). Tujuan formasi kelompok ini adalah untuk meningkatkan kapasitas nelayan di Gili Matra dan bertindak sebagai kelompok usaha bersama.

Anggota POKLAHSAR Lanter Gili saat sedang mengolah ikan
Selain membentuk kelompok nelayan, juga dibentuk POKLAHSAR, kelompok pengolahan dan pemasaran ikan, yang dibentuk pada September 2020. Para wanita di POKLAHSAR – dimana banyak dari mereka adalah istri-istri nelayan – bertugas untuk mengolah ikan yang dibeli dari para nelayan menjadi abon, bakso, dan kerupuk ikan.
“Kami bergabung dengan kelompok ini untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan kami,” ujar Rohanisah, yang memimpin 40 anggota POKLAHSAR yang tersebar di Gili Air dan Gili Meno. “Ini memberikan keuntungan tersendiri bagi kami dan warga setempat untuk memasarkan ikan yang sebelumnya dijual dengan harga murah namun ketika sudah diolah, maka nilai ikan akan lebih tinggi.”

Bakso ikan adalah salah satu produk yang dibuat dan dipasarkan oleh POKLAHSAR Lanter Gili
Dengan bergabung di dalam kelompok nelayan Gili Cinta Damai artinya berkomitmen untuk menangkap ikan secara berkelanjutan, tentunya untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal harus juga meminimalkan kerusakan lingkungan. Yang pertama adalah menggunakan alat tangkap yang tidak merusak, meliputi jaring ramah lingkungan, pancing, dan panah (speargun). Nelayan juga wajib menangkap ikan di zona yang sesuai dan mendapatkan izin penangkapan ikan, jika memang diperlukan. “Zona-zona sudah di sosialisasikan oleh pihak pemerintah, kemudian juga baik itu tingkat desa dan masyarakat pun sudah memahami di mana zona yang diperbolehkan untuk aktivitas tertentu, mana tangkapan, zona inti, dan lain sebagainya,” kata Budiman. Dalam 7 zona yang ada di TWP Gili Matra, penangkapan ikan diperbolehkan di zona perikanan berkelanjutan dengan catatan para nelayan membutuhkan izin kapal. Izin tambahan diperlukan bagi mereka yang ingin menangkap ikan lebih jauh dari pesisir. Perizinan ini dikeluarkan oleh Balai Kawasan Konservasi Laut Nasional (BKKPN) Kupang.
Namun, masih ada yang tidak patuh dan menangkap ikan dengan cara yang merusak, atau dengan destructive fishing. Inilah tugas POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) Gili Matra, yang juga bermitra dengan Gili Cinta Damai, untuk mengawasi nelayan yang tidak patuh aturan dengan menangkap ikan secara merusak. Di zaman sebelum Tiga Gili menjadi kawasan pariwisata, penangkapan ikan dengan bom merajalela. Belakangan ini, anggota POKMASWAS lebih sering menjumpai nelayan yang menangkap ikan dengan jaring yang terlalu besar atau dengan kompresor, dimana keduanya sungguh merusak terumbu karang.
Secara terjadwal, kelompok ini melakukan patroli dan pemantauan rutin dua kali seminggu. Namun, jika POKMASWAS Gili Matra menerima laporan masyarakat tentang adanya pelanggaran di wilayah tersebut, mereka harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak terkait seperti Polisi Perairan, Polisi Khusus, dan BKKPN sebelum bertindak. “Kalau pihak lain tidak merespon, ya kami langsung lari,” canda Hasanudin Shanu, Ketua POKMASWAS Gili Matra. Tetapi, begitu mereka tiba di tempat kejadian, kelompok tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk meminta pertanggungjawaban siapa pun. “Yang kita perlukan adalah eksekutor. Kalau ada eksekutor yang bertindak tegas, kita tidak akan menemukan lagi pelanggaran tersebut di kawasan Gili Matra,” imbuhnya.
Dengan mengurangi ancaman terhadap ekosistem terumbu karang dan menerapkan metode penangkapan ikan yang ramah lingkungan, perikanan Gili Matra dapat berkelanjutan sekaligus memberikan peningkatan pendapatan bagi penduduk setempat.